Senja,
Siang binasa karena hadirmu..
Malam tiba karena pergimu..
Rindu,
Sedih tiba karena hadirmu..
Bahagia tiba karena pergimu..
Senja,
Sampaikan rindu sang siang pada
malam..
Rindu,
Jadikan
senja mengerti sedih dan bahagia..
Jogja,
6 Januari 1986
Hampir
tengah malam, berulang kali kupandang selembar kertas putih kecoklat-coklatan yang
sudah terlihat sangat kusut, di bagian bawah sebelah kanannya ada bekas sobekan,
menghilangkan setengah dari nama penulisnya. Sudah 10 tahun belakangan ini
kertas tersebut menjadi pusat perhatianku. Sebelum aku terjaga dalam mimpi,
kusempatkan waktuku bersamanya, memandang, dan mencoba memahami satu per satu
kalimat yang tersirat di dalamnya. Bukan karena kata-kata di dalamnya, tapi
dari siapa kertas itu berasal. Setiap aku bersamanya, aku seperti terbawa kembali
ke masa 10 tahun yang lalu, tenggelam dan hanyut bersama kenangan masa lalu.
Paris,
5 Okteber 1975
Awal
musim gugur baru saja dimulai, satu per satu dedaunan saling berebutan menyapa
bumi. Setiap musim gugur aku sering datang ke Tuileries Garden, duduk di bangku
yang menghadap Menara Eiffel. Mungkin
para pemuja Eiffel sering lebih suka langsung datang ke Champs du Mars, tapi
tidak untukku. Dari tempat aku bersandar ini Eiffel memiliki sudut pandang yang
berbeda, lebih indah dan menarik, apalagi di musim gugur. Eiffel dengan
pepohonan yang sebagian daunnya mulai berguguran, memiliki nilai seni
tersendiri, mungkin hanya aku yang merasakan. Membuatku seakan-akan menyatu
dengan seni yang kuciptakan. Aku duduk sendiri, ditemani dengan lamunanku
tentang memori Kota Paris, terutama Tuileries Garden.
“comment allez-vous?” terdengar suara
yang tidak asing lagi di telingaku. Kupandangi wajahnya, “hah? Eh, fine....” segera kupalingkan wajahku
menuju Eiffel. Aku memang salah satu dari jutaan manusia pemuja kota ini tapi
aku tak pernah menyukai bahasanya, terlalu rumit.
“udah nunggu lama ya?
Maaf ya telat..” dia salah satu pencinta bahasa Prancis, tapi denganku dia
jarang sekali menggunakan bahasa itu. Aku hanya tersenyum, “santai aja.. no problem”. Ia duduk disampingku
sembari menikmati Eiffel musim gugur. Cukup lama kami terdiam, tak ada satupun
yang memulai untuk bicara. Aku memilih menunggu, mungkin dia sedang asyik
bercengkrama dengan pemandangan Eiffel senja ini. Setelah beberapa menit
terdiam, dia menyalurkan tangan kanannya kepadaku, ada satu amplop berwarna
merah muda tapi agak gelap ditangannya.
“apa ini?” dahiku
mengkerut.
“lusa
aku harus pergi dari Paris, mungkin ini terakhir kalinya kita bertemu. Maafkan
aku...” suaranya lirih. Tanpa mengucapkan salam perpisahan dia meninggalkanku
begitu saja, membiarkanku membisu. Aku rasa aku sedang bermimpi, bermain memori
bersama peri-peri tidur. Aku rapuh, entah mengapa. Aku tertunduk begitu dalam,
mencoba mengulang memori masa lalu.
Paris, 27 September
1975
Hari
ini hari kedua musim gugur dimulai dan tepat saat ini sudah terhitung 6 bulan
10 hari aku mengenalnya. Kusempatkan sepulang dari kampus untuk melabuhkan hati
pada Tuileries Garden, surganya Paris saat musim gugur, menurutku. Aku tahu
persis dia pasti akan menghabiskan waktu senja musim gugurnya disini, seperti
yang ia impikan di hari ulang tahunnya seminngu lalu. Kami sama-sama pribumi pemuja Kota Paris dan
penggila taman ini.
Aku
duduk di salah satu sudut taman ini, tempat favorit kami berdua. Kunikmati
Eiffel musim gugur bersama segelas kopi yang kubeli di jalan tadi. Entah
mengapa aku senang menunggu, aku yakin dia pasti akan datang. Atmosfer disini
membuatku merasa dia telah hadir di dekatku, dihatiku. Aku mengenalnya ketika
kami tidak sengaja mengunjungi Tuileries Garden untuk pertama kalinya. Memoriku
berputar kembali ke masa lalu. Saat itu aku tak sengaja menjatuhkan kartu
mahasiswaku, kunci untuk bisa masuk gedung berarsitektur Prancis Kuno yang
kusebut kampus impian pribumi.
Aku
sempat menyarinya di sudut-sudut taman yang kulewati. Ketika aku kembali ke
tempat aku terjaga tadi, sebuah bangku menghadap Eiffel. Seorang pribumi
menatapku dalam sambil mempelajari kartu yang ada di tangannya, seperti sedang
memastikan sesutatu. Aku tersenyum ketika dia menyalurkan kartu itu kepadaku,
itu kartu mahasiswaku. Hanya ucapan terima kasih yang terselip dalam pertemuan
kami, kami berpisah tanpa saling mengenal. Namun, ternyata hati kami terpaut
dengan taman ini, kami sering mengunjungi taman ini di akhir pekan, bersama di
tempat dimana aku selalu terjaga disini. Sejak saat itu kami sering berbagi
cerita dan curahan hati, mungkin karena kami sama-sama pribumi.
“hai..”
senyum dengan lengsung pipinya seketika mengacaukan lamunanku.
“eh,
kamu kesini juga?” aku bergeser ke kanan memberikan ia ruang untuk duduk, aku
yakin dia akan menikmati Eiffel musim gugur dari sudut sini.
“ini
yang kutunggu dari Kota Paris” dia
mengeluarkan Nikon D700nya, dia memang senang sekali mengabadikan memori-memori
di kota ini.
Aku
membiarkan dia berasyik ria bermain bersama kameranya menikmati panorama Eiffel
musim gugur. Sesekali dia mengarahkan lensa kameranya ke arahku, aku hanya
tersenyum. Aku memang lebih banyak tersenyum bersamanya dibandingkan dengan
orang-orang asli kota ini. Dia memiliki bahasa yang berbeda dalam mengatakan
imajinasinya. Sudah 6 bulan lebih kami selalu berbagi, tapi tak ada satupun
yang tahu nama diantara kami. Ketika dia menemukan kartu mahasiswaku pun
sepertinya dia hanya terfokuskan dengan fotoku. Selalu ada rasa penasaran akan
namanya, tapi aku tak memiliki keberanian untuk bertanya padanya.
“ngg,
what’s your name? Hehe..”
Aku
terkejut, tak menyangka dia akan mempertanyakan hal itu. Aku hanya tersenyum,
terdiam. Mengalihkan pandanganku ke Eiffel.
“kita
sudah cukup lama mengenal, tapi tak pernah kuketahui namamu. Boleh aku tahu
namamu?”
“ngg,
siapa dulu namamu?” aku balik bertanya.
“namaku
adalah kata yang sering kau gunakan untuk menggambarkan betapa indahnya Kota
ini dengan sejuta warna dan cerita” dia tersenyum dan kembali memainkan
kameranya.
Rindu?
Apa dia Rindu? Melodi Eiffel seketika merasuk dalam tubuhku, memang banyak
kenangan di setiap sudut Kota ini. 6 bulan terakhir aku selalu bercerita betapa
kehadiran rindu dapat membuatku begitu terpuruk, jatuh pada halusinasi masa
lalu. Kukatakan padanya bahwa ada sejuta mimpi-mimpi semu dalam rindu. Dan kini
aku benar-benar terkejut ketika aku mengetahui namanya adalah Rindu. Sedangkan
dia sering menggunakan namaku untuk menceritakan imajinasinya tentang keindahan
siang malam Eiffel dan Tuileries, Senja.
“aku
duluan ya, ada perlu. see you...” dia
pergi meninggalkan Tuileries tanpa menanyakan siapa namaku. Pikirku, mungkin
diam-diam dia sudah tahu namaku adalah senja. Aku tersenyum, memandang Eiffel
dengan harapan aku akan bertemunya lagi esok. Dan aku mulai terbawa Eiffel
musim gugur menyelami senja, aku telah mengenalnya. Namun, siapa sangka
seminggu setelah itu aku harus kehilangan dirinya.
Jogja, 7 Januari 1986
Jam
wakerku berbunyi ketika jarum panjang
dan pendeknya tepat menunjuk angka dua belas. Aku yang terjaga dalam halusinasi
masa lalu segera tersadarkan. Kupandangi lagi selembar kertas di tanganku. Seperti
ada angin yang berhembus tak sengaja melewati gendang telinga menuju otakku.
Angin itu seakan-akan menggerakan seluruh sarafku. Mataku bertemu dengan sebuah
kotak tua di bawah meja belajar. Otakku menyuruh saraf tanganku untuk
menggapainya. Kubuka perlahan kotak tersebut, kutemui ada sebuah amplop merah
muda yang warnanya mulai pudar. Sepertinya aku pernah melihatnya 10 tahun lalu.
Amplop
itu memang sangat akrab dengan kertas yang saat ini ada di tanganku. Kuperhatikan amplop itu dari segala arah. Baru
kusadari bahwa di bagian penutup sebelah dalam ada sebuah tulisan yang seketika
membuatku terdiam kaku.
Wembley,
London.
Rindu
Aku
tak mengerti, malam ini hatiku bukan lagi rapuh, hancur. Aku yakin, dia
tuliskan tempat itu bukan tanpa alasan. Apa saat itu dia meninggalkan Paris
untuk pergi ke London? mengapa aku
seceroboh ini. 10 tahun yang lalu dia meninggalkan Paris, tak ada satupun kabar
tentangnya. Mungkinkah saat ini dia masih di London. Entahlah, kini aku hanya
bisa menarik nafas panjang. Tak ada lagi yang harus disesali, setidaknya aku
mensyukuri telah mengenalnya. Banyak hal yang kupelajari dari dirinya, mulai
hal-hal indah di Paris sampai arti rindu. Sejak mengenalnya pula aku mengerti
bahwa rindu bukan berbicara tentang keinginan untuk bertemu, melainkan
bagaimana kita bisa menyelepkin kebahagian dalam kesedihan.
Aku Senja, merindukan seorang Rindu.....
merindukan senja di sudut-sudut kenangan
Fityah Salamah, 2013
Keren nih, berani ngambil setting paris jaman dulu. usul sih, lebih dipertajam settingnya yang menggambarkan paris nya tahun 70-80an. biar kerasa aroma jadulnya yang membedakan paris waktu itu dengan yang sekarang. bisa dimasukin di deskripsi lingkungan, atau pakaian (ini yang gampang menurutku) Semangat Fityah!
BalasHapus