Sabtu, 18 Mei 2013

Untaian Rindu Sang Senja


Senja,
Siang binasa karena hadirmu..
Malam tiba karena pergimu..
Rindu,
Sedih tiba karena hadirmu..
Bahagia tiba karena pergimu..
Senja,
Sampaikan rindu sang siang pada malam..
Rindu,
Jadikan senja mengerti sedih dan bahagia..

Jogja, 6 Januari 1986
Hampir tengah malam, berulang kali kupandang selembar kertas putih kecoklat-coklatan yang sudah terlihat sangat kusut, di bagian bawah sebelah kanannya ada bekas sobekan, menghilangkan setengah dari nama penulisnya. Sudah 10 tahun belakangan ini kertas tersebut menjadi pusat perhatianku. Sebelum aku terjaga dalam mimpi, kusempatkan waktuku bersamanya, memandang, dan mencoba memahami satu per satu kalimat yang tersirat di dalamnya. Bukan karena kata-kata di dalamnya, tapi dari siapa kertas itu berasal. Setiap aku bersamanya, aku seperti terbawa kembali ke masa 10 tahun yang lalu, tenggelam dan hanyut bersama kenangan masa lalu.

Paris, 5 Okteber 1975
Awal musim gugur baru saja dimulai, satu per satu dedaunan saling berebutan menyapa bumi. Setiap musim gugur aku sering datang ke Tuileries Garden, duduk di bangku yang  menghadap Menara Eiffel. Mungkin para pemuja Eiffel sering lebih suka langsung datang ke Champs du Mars, tapi tidak untukku. Dari tempat aku bersandar ini Eiffel memiliki sudut pandang yang berbeda, lebih indah dan menarik, apalagi di musim gugur. Eiffel dengan pepohonan yang sebagian daunnya mulai berguguran, memiliki nilai seni tersendiri, mungkin hanya aku yang merasakan. Membuatku seakan-akan menyatu dengan seni yang kuciptakan. Aku duduk sendiri, ditemani dengan lamunanku tentang memori Kota Paris, terutama Tuileries Garden.
comment allez-vous?” terdengar suara yang tidak asing lagi di telingaku. Kupandangi wajahnya, “hah? Eh, fine....” segera kupalingkan wajahku menuju Eiffel. Aku memang salah satu dari jutaan manusia pemuja kota ini tapi aku tak pernah menyukai bahasanya, terlalu rumit.
“udah nunggu lama ya? Maaf ya telat..” dia salah satu pencinta bahasa Prancis, tapi denganku dia jarang sekali menggunakan bahasa itu. Aku hanya tersenyum, “santai aja.. no problem”. Ia duduk disampingku sembari menikmati Eiffel musim gugur. Cukup lama kami terdiam, tak ada satupun yang memulai untuk bicara. Aku memilih menunggu, mungkin dia sedang asyik bercengkrama dengan pemandangan Eiffel senja ini. Setelah beberapa menit terdiam, dia menyalurkan tangan kanannya kepadaku, ada satu amplop berwarna merah muda tapi agak gelap ditangannya.
“apa ini?” dahiku mengkerut.
“lusa aku harus pergi dari Paris, mungkin ini terakhir kalinya kita bertemu. Maafkan aku...” suaranya lirih. Tanpa mengucapkan salam perpisahan dia meninggalkanku begitu saja, membiarkanku membisu. Aku rasa aku sedang bermimpi, bermain memori bersama peri-peri tidur. Aku rapuh, entah mengapa. Aku tertunduk begitu dalam, mencoba mengulang memori masa lalu.

Paris, 27 September 1975
Hari ini hari kedua musim gugur dimulai dan tepat saat ini sudah terhitung 6 bulan 10 hari aku mengenalnya. Kusempatkan sepulang dari kampus untuk melabuhkan hati pada Tuileries Garden, surganya Paris saat musim gugur, menurutku. Aku tahu persis dia pasti akan menghabiskan waktu senja musim gugurnya disini, seperti yang ia impikan di hari ulang tahunnya seminngu lalu.  Kami sama-sama pribumi pemuja Kota Paris dan penggila taman ini.
Aku duduk di salah satu sudut taman ini, tempat favorit kami berdua. Kunikmati Eiffel musim gugur bersama segelas kopi yang kubeli di jalan tadi. Entah mengapa aku senang menunggu, aku yakin dia pasti akan datang. Atmosfer disini membuatku merasa dia telah hadir di dekatku, dihatiku. Aku mengenalnya ketika kami tidak sengaja mengunjungi Tuileries Garden untuk pertama kalinya. Memoriku berputar kembali ke masa lalu. Saat itu aku tak sengaja menjatuhkan kartu mahasiswaku, kunci untuk bisa masuk gedung berarsitektur Prancis Kuno yang kusebut kampus impian pribumi.
Aku sempat menyarinya di sudut-sudut taman yang kulewati. Ketika aku kembali ke tempat aku terjaga tadi, sebuah bangku menghadap Eiffel. Seorang pribumi menatapku dalam sambil mempelajari kartu yang ada di tangannya, seperti sedang memastikan sesutatu. Aku tersenyum ketika dia menyalurkan kartu itu kepadaku, itu kartu mahasiswaku. Hanya ucapan terima kasih yang terselip dalam pertemuan kami, kami berpisah tanpa saling mengenal. Namun, ternyata hati kami terpaut dengan taman ini, kami sering mengunjungi taman ini di akhir pekan, bersama di tempat dimana aku selalu terjaga disini. Sejak saat itu kami sering berbagi cerita dan curahan hati, mungkin karena kami sama-sama pribumi.
“hai..” senyum dengan lengsung pipinya seketika mengacaukan lamunanku.
“eh, kamu kesini juga?” aku bergeser ke kanan memberikan ia ruang untuk duduk, aku yakin dia akan menikmati Eiffel musim gugur dari sudut sini.
“ini yang kutunggu  dari Kota Paris” dia mengeluarkan Nikon D700nya, dia memang senang sekali mengabadikan memori-memori di kota ini.
Aku membiarkan dia berasyik ria bermain bersama kameranya menikmati panorama Eiffel musim gugur. Sesekali dia mengarahkan lensa kameranya ke arahku, aku hanya tersenyum. Aku memang lebih banyak tersenyum bersamanya dibandingkan dengan orang-orang asli kota ini. Dia memiliki bahasa yang berbeda dalam mengatakan imajinasinya. Sudah 6 bulan lebih kami selalu berbagi, tapi tak ada satupun yang tahu nama diantara kami. Ketika dia menemukan kartu mahasiswaku pun sepertinya dia hanya terfokuskan dengan fotoku. Selalu ada rasa penasaran akan namanya, tapi aku tak memiliki keberanian untuk bertanya padanya.
“ngg, what’s your name? Hehe..”
Aku terkejut, tak menyangka dia akan mempertanyakan hal itu. Aku hanya tersenyum, terdiam. Mengalihkan pandanganku ke Eiffel.
“kita sudah cukup lama mengenal, tapi tak pernah kuketahui namamu. Boleh aku tahu namamu?”
“ngg, siapa dulu namamu?” aku balik bertanya.
“namaku adalah kata yang sering kau gunakan untuk menggambarkan betapa indahnya Kota ini dengan sejuta warna dan cerita” dia tersenyum dan kembali memainkan kameranya.
Rindu? Apa dia Rindu? Melodi Eiffel seketika merasuk dalam tubuhku, memang banyak kenangan di setiap sudut Kota ini. 6 bulan terakhir aku selalu bercerita betapa kehadiran rindu dapat membuatku begitu terpuruk, jatuh pada halusinasi masa lalu. Kukatakan padanya bahwa ada sejuta mimpi-mimpi semu dalam rindu. Dan kini aku benar-benar terkejut ketika aku mengetahui namanya adalah Rindu. Sedangkan dia sering menggunakan namaku untuk menceritakan imajinasinya tentang keindahan siang malam Eiffel dan Tuileries, Senja.
“aku duluan ya, ada perlu. see you...” dia pergi meninggalkan Tuileries tanpa menanyakan siapa namaku. Pikirku, mungkin diam-diam dia sudah tahu namaku adalah senja. Aku tersenyum, memandang Eiffel dengan harapan aku akan bertemunya lagi esok. Dan aku mulai terbawa Eiffel musim gugur menyelami senja, aku telah mengenalnya. Namun, siapa sangka seminggu setelah itu aku harus kehilangan dirinya.

Jogja, 7 Januari 1986
Jam wakerku berbunyi ketika jarum panjang dan pendeknya tepat menunjuk angka dua belas. Aku yang terjaga dalam halusinasi masa lalu segera tersadarkan. Kupandangi lagi selembar kertas di tanganku. Seperti ada angin yang berhembus tak sengaja melewati gendang telinga menuju otakku. Angin itu seakan-akan menggerakan seluruh sarafku. Mataku bertemu dengan sebuah kotak tua di bawah meja belajar. Otakku menyuruh saraf tanganku untuk menggapainya. Kubuka perlahan kotak tersebut, kutemui ada sebuah amplop merah muda yang warnanya mulai pudar. Sepertinya aku pernah melihatnya 10 tahun lalu.
Amplop itu memang sangat akrab dengan kertas yang saat ini ada di tanganku.  Kuperhatikan amplop itu dari segala arah. Baru kusadari bahwa di bagian penutup sebelah dalam ada sebuah tulisan yang seketika membuatku terdiam kaku.
          Wembley, London.
                    Rindu
Aku tak mengerti, malam ini hatiku bukan lagi rapuh, hancur. Aku yakin, dia tuliskan tempat itu bukan tanpa alasan. Apa saat itu dia meninggalkan Paris untuk pergi ke London?  mengapa aku seceroboh ini. 10 tahun yang lalu dia meninggalkan Paris, tak ada satupun kabar tentangnya. Mungkinkah saat ini dia masih di London. Entahlah, kini aku hanya bisa menarik nafas panjang. Tak ada lagi yang harus disesali, setidaknya aku mensyukuri telah mengenalnya. Banyak hal yang kupelajari dari dirinya, mulai hal-hal indah di Paris sampai arti rindu. Sejak mengenalnya pula aku mengerti bahwa rindu bukan berbicara tentang keinginan untuk bertemu, melainkan bagaimana kita bisa menyelepkin kebahagian dalam kesedihan.
Aku Senja, merindukan seorang Rindu.....



merindukan senja di sudut-sudut kenangan
Fityah Salamah, 2013

1 komentar:

  1. Keren nih, berani ngambil setting paris jaman dulu. usul sih, lebih dipertajam settingnya yang menggambarkan paris nya tahun 70-80an. biar kerasa aroma jadulnya yang membedakan paris waktu itu dengan yang sekarang. bisa dimasukin di deskripsi lingkungan, atau pakaian (ini yang gampang menurutku) Semangat Fityah!

    BalasHapus